Sabtu, 28 Januari 2012

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA



Hukum Perkawinan di Indonesia diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya sahnya suatu perkawinan di Indonesia dilaksankan berdasarkan ketentuan agama suami istri. Bagi suami istri yang beragama Islam perkawinan harus didasarkan pada hukum Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Bagi suami istri yang beragama non Islam di atur berdasarkan tata cara agamanya masing-masing. Indonesia tidak mengenal kawin campur beda agama. Namun istilah kawin campur di Indonesia untuk perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga Negara Asing.

Perkawinan di Indonesia baru dinyatakan sah selain berdasarkan agama suami istri juga harus dicatat oleh seorang pegawai pencatat perkawinan yang diatur oleh  UU. Dengan demikian di Indonesia tidak dikenal perkawinan diam-diam atau sirri. Perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah sering disebut perkawinan liar. Perkawinan liar atau sirri akan berakibat kepada status anak-anak yang akan dilahirkan  dan juga status harta-harta yang diperoleh selama perkawinan.  Meskipun perkawinan dilaksanakan berdasarkan ketentuan agama namun jika tidak di catat oleh pegawai pencatat nikah maka berdasarkan ketentuan hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.


Hukum Perkawinan di Indonesia mengatur tentang sahnya suatu perkawinan, hubungan suami istri (kewajiban suami istri), kewajiban orang tua kepada anak, Putusnya Perkawinan, pemeliharaan anak, harta benda dalam perkawinan, Akibat-akibat dari putusnya perkawinan, pembatalan perkawinan. 

Indonesia tidak mengakui perkawinan untuk jangka waktu tertentu oleh karenanya  suami istri tidak dapat bercerai hanya karena sudah ada perjanjian untuk bercerai sebelumnya. Perceraian dalam hukum di Indonesia harus berdasarkan alasan-alasan yang diatur oleh UU. Suami/istri yang mengajukan perceraian juga harus memperkuat dengan bukti-bukti dan saksi. 



Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Akibat dari asas ini maka pegawai pencatat nikah tidak boleh mencatatkan nikah seorang suami yang sudah mempunyai istri tanpa ada penetapan  pengadilan.Ada sanksi pidana bagi pegawai pencatat nikah yang melakukan pencatatan nikah bagi suami yang belum mendapatkan ijin dari pengadilan untuk menikah lagi. 



Khusus untuk suami istri yang beragama Islam sahnya perkawinan, pembatalan perkawinan, kewajiban suami istri, kewaiban orang tua kepada anak, putusnya perkawinan di atur lebih rinci dalam Kompilasi Hukum Islam.  

Putusnya perkawinan di akibatkan oleh 3 hal yaitu: 

a. Kematian
b. Perceraian 
c. Keputusan Pengadilan. 



Salah seorang pasangan meninggal dunia maka serta merta perkawinan putus dan akibat putusnya perkawinan yaitu warisan dan pemeliharan anak diatur lebih lanjut dengan UU. 



Perkawinan putus akibat perceraian harus diajukan oleh salah satu pasangan (istri atau suami) ke Pengadilan. Untuk yang beragama Islam ke Pengadilan Agama dan untuk yang beragama Non Islam ke Pengadilan Negeri.Perceraian antar suami istri baru dianggap ada jika sudah ada Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bukti sah pasangan suami istri telah bercerai adalah Akta Cerai yang dikelaurkan oleh Pengadilan Agama untuk orang Islam dan Catatan Sipil untuk yang beragama Non Islam. 

Perkawinan Putus akibat Keputusan Pengadilan umumnya terjadi akibat syarat perkawinan  menurut ketentuan UU dilanggar, misalnya istri belum cukup umur untuk menikah. Berdasarkan UU umur wanita untuk menikah minimal 16 tahun.